Inovasi Menghasilkan Bahan Bakar dari “Daun” Sintetik Bertenaga Surya
Berita Baru, Swiss – Perangkat melingkar kecil yang terinspirasi oleh daun dapat mengekstraksi air dari udara untuk menghasilkan sumber bahan bakar energi bersih, sebuah studi baru menunjukkan.
Dilansir dari Dailymail.co.uk pada 8 Januari, “Substrat konduktif berpori transparan’ (TPCS) adalah lingkaran kecil dari serat kaca terkompresi, dilapisi dengan lapisan tipis yang menyerap cahaya.”
Saat perangkat terkena sinar matahari, ia mengambil air dari udara dan menghasilkan gas hidrogen, yang berpotensi digunakan sebagai bahan bakar.
Gas hidrogen dapat diekstraksi dan disimpan di fasilitas besar dan digunakan saat dibutuhkan, seperti untuk menyalakan mobil atau memanaskan rumah, kata para peneliti.
Penelitian ini dilakukan oleh para insinyur kimia di Ecole Polytechnique Fédérale de Lausanne (EPFL) di Swiss.
“Untuk mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan, kita membutuhkan cara untuk menyimpan energi terbarukan sebagai bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku industri,” kata penulis studi Profesor Kevin Sivula di EPFL.
“Energi matahari adalah bentuk energi terbarukan yang paling melimpah, dan kami berusaha keras untuk mengembangkan cara yang kompetitif secara ekonomi untuk menghasilkan bahan bakar surya.”
Tim tersebut terinspirasi oleh ‘cara kerja daun’, yaitu fotosintesis, atau proses di mana tumbuhan menggunakan sinar matahari, air, dan karbon dioksida untuk menghasilkan oksigen dan energi dalam bentuk gula.
Para ilmuwan telah melakukan ‘fotosintesis buatan’ dengan menghasilkan bahan bakar hidrogen menggunakan sinar matahari dan air cair menggunakan alat yang disebut sel fotoelektrokimia (PEC).
Tetapi Profesor Sivula ingin menunjukkan bahwa teknologi PEC dapat diadaptasi untuk memanen uap air dari udara, bukan dari air cair, yang dapat menyebabkan lebih banyak penggunaan, seperti di lingkungan yang lembab.
Untuk membuat TPCS, mereka memulai dengan sejenis glass wool, bahan isolasi yang terbuat dari fiber glass yang memiliki tekstur mirip dengan wool tekstil.
Wol kaca diproses dalam blender dapur komersial dan dikompresi menjadi ‘wafer’ kempa melingkar dengan menggabungkan serat menjadi satu pada suhu tinggi.
Selanjutnya, setiap wafer dilapisi dengan lapisan tipis transparan oksida timah, senyawa anorganik yang dikenal dengan konduktivitasnya yang sangat baik.
Mereka memastikan lapisan itu berpori untuk meningkatkan luas permukaannya dan memaksimalkan kontak dengan air di udara.
Wafer kemudian dilapisi lagi dengan senyawa kimia yang disebut tembaga(i) tiosianat, bahan semikonduktor penyerap sinar matahari.
Lapisan tipis kedua ini masih membiarkan cahaya masuk, meski tampak buram.
“Semikonduktor menyerap cahaya, sehingga tampak gelap,” kata Profesor Sivula kepada MailOnline.
“Yang penting, kami tidak ingin penyerapan cahaya oleh elektroda tanpa lapisan semikonduktor karena ini berarti tidak dapat menyerap banyak cahaya.”
Para ilmuwan kemudian membangun sebuah ruangan kecil yang berisi wafer berlapis, dimaksudkan untuk mengumpulkan hidrogen.
Para peneliti mengatakan sistem ini bekerja di lingkungan lembab di mana terdapat banyak uap air di udara sekitarnya.
Ini membuatnya ideal untuk dipasang di negara dengan kelembapan tinggi seperti India, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Secara potensial, fasilitas besar yang berisi sistem tersebut dapat beroperasi di daerah terpencil di negara-negara tersebut, misalnya memberi mobil pasokan bahan bakar hidrogen.
“Dalam penerapan teknologi ini di masa mendatang, pengumpulan hidrogen akan diperlukan,” kata Profesor Sivula.
“Namun, ruangannya bisa sesederhana kantong plastik atau selongsong yang berisi gas yang dihasilkan.”
Studi tim, yang diterbitkan hari ini di jurnal Advanced Materials , menandai ‘hanya tahap pertama’ dalam meluncurkan teknologi ini.
“Efisiensi tenaga surya ke hidrogen secara keseluruhan masih cukup rendah, tetapi penemuan TPCS kami sekarang membuka pintu untuk memajukan teknologi ini lebih jauh,” kata Profesor Sivula.
Peneliti mengatakan TPCS saat ini berada pada ‘ tingkat kesiapan teknologi ‘ yang rendah , sehingga diperlukan 10 tahun atau lebih untuk mewujudkan perangkat praktis, perkiraannya.
Saat ini tidak ada informasi pasti tentang berapa biaya peluncuran, meskipun Profesor Sivula mengatakan perangkat tersebut menggunakan bahan dan teknik pemrosesan yang murah.